Prosedur dan Sistem Akuntansi Pada Masa Awal Pemerintahan Islam
Oleh: Omar Abdullah Zaid
Disamping kemajuan pengetahuan sejarah, asal-muasal sistem akuntansi
dan prosedur pencatatan masih belum jelas. Baru-baru ini ditemukan
catatan yang menunjukkan pentingya peran akuntansi dalam masyarakat
muslim sejak 624 M. makalah ini berpendapat bahwa sistem akuntansi
dan prosedur pencatatan dipraktekkan dalam masyarakat muslim dimulai
sebelum penemuan angka Arab sebagai respons atas kewajiban agama,
khususnya zakat, sebuah kewajiban religius yang dibebankan pada tahun 2 H
1. Pendahuluan
Dalam sebuah kontribusi berpengaruh Parker (2000) menuliskan bahwa
“Penulisan sejarah akuntansi secara tajam didominasi oleh penulis di
Inggris dengan mendiskusikan akuntansi sektor swasta (private-sector)
pada Negara-negara berbahasa Inggris pada abad ke 19 dan 20…cakupan
sejarah akuntansi sesungguhnya lebih luas dari pada ini” (p.66). makalah
ini mencari secara lebih mendalam diluar negara-negara berbahasa
Inggris pada periode lebih awal daripada era modern ini, makalah ini
juga membandingkan klaim de Ste. Croix’s (1981,p 114) yang menyatakan
bahwa “Nampaknya tidak ada metode akuntansi efisien selain double entry
system dan single entry system sebelum abad 13” analisis sistem
pembukuan dalam masyarakat muslim pada abad pertengahan diabaikan pada
pernyataan tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk mengeksplor pemikiran akademisi muslim
tentang akuntansi pada awal masa pemerintahan Islam, dalam konteks zakat
(beban keagamaan) serta ekspansi pendapatan dan pengeluaran pada negara
Islam, struktur bisnis dalam negara serta agama yang membentuk
kehidupan sosial ekonomi masyarakat muslim. Hal ini masih menjadi sebuah
subjek yang “belum di eksplorasi lebih dalam” (Hamid et al., 1993, p.
132), yang kemudian akan nampak bahwa sistem akuntansi dikembangkan dan
dipraktekkan sebagai bagian dari dunia muslim, khususnya tengah dan
timur dekat, yang telah maju. Memfokuskan pada sistem akuntansi dan
prosedur pencatatan tulisan ini melampaui Zaid (2000a) yang secara
khusus mendalami buku-buku akuntansi pada negara Islam. Berangkat dari
Zaid (2001) dan Nobes (2001) dimana pertanyaan dasar dan terminologis
mengenai double entry system menjadi bahasan utama.
Sementara itu ada ekspektasi [Lall Nigam, 1986; Hamid et al, 1993;
Scorgie, 1990; Solas and Otar, 1994; and Zaid, 2000a and 2000b], berapa
orang barat dan akuntan muslim kontemporer telah mendokumentasikan dan
mengeksplorasi akuntansi muslim terdahulu. Lal Nigam (1986) telah
menunjukkan peran yang dimainkan oleh akuntan India dalam pengembangan
akuntansi sebelum “Summa de aritmatika”-nya Pacioli 1494. penulis
mengklaim bahwa pengembangan “sistem pembukan yang mendahului dan jauh
kedepan dalam kesempuranannya dibanding dengan Eropa. Sistem ini
mencatat dua aspek tiap kejadian, dan pengelolaan bisnis dengan
verifikasi ukuran dan dimensi usaha. Disebut Bahi-Khata, Mahajanor
Deshi, dan masih dipraktekkan di sebagian besar negara tersebut” (1986,
p. 149). Scorgie (1990) menelaah “ Bukti yang mendukung bahwa
orang-orang India meniru dan mengadopsi sistem pembukuan yang
disampaikan oleh bangsa Moguls yang menaklukan India pada pertengangan
abad ke 16” (p.63). Scorgie menyimpulkan bahwa “Persamaan kata dalam
bahasa Arab dan bahasa utama India menunjukkan bahwa sistem yang
digunakkan oleh pedagang India dan keluarga-keluarga berasal dari
penakluk mereka yakni bangsa Arab. Oleh karena itu orang India hanyalah
pemakai bukan penemu sehingga perpidahan akuntansi double-entry dari
Barat ke Timur bukan sebaliknya sebagaimana dinyatakan oleh Lall Nigam”
(p. 69) hal ini dikuatkan oleh Solas dan Otar (1994) yang fokus pada
“Akuntansi pemerintahan dipraktikkan di Timur dekat selama periode
dinasti Khan II (1120-1350 A.D)” (p. 117). Studi mereka terkait dengan
kerajaan Ottoman, sebuah kerajaan Muslim. Solas dan Otar (1994)
menyimpulkan “Bahwa dasar akuntansi double-entry telah dipraktikkan di
Timur dekat dan dimana hal tersebut telah dikembangkan secara terpisah
dari akuntansi yang digunakan di Barat” (p.117).
Studi lain yang merujuk pada kontribusi akademisi muslim dalam
pengembangan akuntansi dilakukan oleh Hamid et al (1993). Ia menyatakan
bahwa “Islam memiliki potensi untuk mempengaruhi struktur, konsep dasar
dan mekanisme akuntansi dalam dunia Islam” (p. 131), penulis
menyimpulkan bahwa “Pengaruh potensial Islam dalam bidang kebijakan
akuntansi dan praktek dapat memasukkan analisa perbedaan akuntansi
nasional dengan dimensi cultural lebih mendalam dari pada itu keluar
dari dampak hukum sekuler kebiasaan umum dan sifat perdagangan” (p.
147). Kesimpulan ini didasari dengan pengembangan bukti lebih dulu oleh
Zaid (2000a, 2000b).
Sejarawan akuntansi Sieveking menyadari “Bahwa pembukuan muncul dan
tumbuh sebagai dampak langsung dari keberadaan kerjasama bisnis pada
sekala yang lebih besar” (Littleton, 1993, p.9). Sudut padang ini dapat
merfleksikan situasi di Eropa skitar abad 14 namun tidak perlu
menghadirkan motif pengembangan peradaban terdahulu seperti Babilonia,
Egypt, China dan negara Islam termasuk Timur Tengah, sebagian besar Asia
dan Afrika dan sebagian Eropa. Meski peran kerjasama tidak bisa
dianggap remeh, kebutuhan negara dan pengusaha juga mendapat perhatian.
Hal ini dikarenakan “Kebutuhan penjagaan catatan financial dan transaksi
bisnis lain adalah suatu hal yang kuno” (Littleton, 1956, p. v),
sehingga dapat diakatakan pengembangan akuntansi tidak dapat seluruhnya
diasosiasikan dengan salah satu peradaban saja atau negara karena
pengembangan-pengembangan ini membutuhkan beberapa periode waktu dan
mungkin di dalam peradaban yang berlainan.
Lieber (1968, p. 230) menyatakan bahwa pedagang Itali mendapatkan
metode pengetahuan bisnis dari pesaing mereka yakni pedangang Muslim.
Lebih jauh, Heaps (1895) menyatakan bahwa “Orang Eropa yang pertama kali
menerjemahkan aljabar dari tulisan-tulisan orang-orang Arab yang juga
dianggap memiliki urain pertama tentang pembukuan…pembukuan pertama kali
dipraktekkan oleh kelompok pedangan, dan mereka adalah orang-orang
Arab, ia menganggap merekalah penemunya” (p. 21). Penulis seperti Heaps
(1895) dan Have (1976) menganggap kontribusi orang Muslim sebagai
sinonim dengan bangsa Arab. Pada kenyataannya Arab dan non Arab
berkontribusi bagi pembangunan di dunia Muslim, pada umumnya, hal ini
nampak bahwa penulis-penulis ini merujuk orang-orang Muslim sebagai
bangsa Arab, mungkin terkait dengan bahasa yang digunakan atau memang
asal muasal Muslim dari Arab. Misalnya akademisi Muslim Arab termasyk
Al-Kalkashandy, Jabir ibn Hayyan, Ar-Razy, Al-Bucasis dan Al-Kindy.
Contoh muslim non Arab seperti Al-Khawarizmy, Abicenne, Abu-Bacer and
Al-Mazendarany. Menurut Islam, semua akademisi dan ilmuan ini
diidentifikasi sebagai seorang muslim terlepas dari asal, ras, bahasa,
warna kulit, atau latar belakang etnis tertentu. Sehingga, hal ini
menjadi problema untuk mengasosiasikan pengembangan akuntansi di dunia
Muslim dengan hanya bangsa Arab saja dan mengabaikan konrtibusi
akademisi dan ilmuan Musilim non-Arab. Temuan-temuan Al-Khawarizmy
secara khusus dikenal di Eropa. Meskipun angka romawi digunakan di
republik Itali pada abad ke 15, fitur “Summa de Aritmatika”-nya Paciolli
telah mengguanakan angka Arab, lebih jauh, sesungguhnya pengenalan
penomeran Arab di barat dapat diasosiasikan dengan hasil Al-Khawarizmy
di awal abad 9 (Macve, 1994, p. 12).
Pengembangan Akuntansi dan ilmu pengetahuan lainnya pada masyarakat
Muslim diinspirasi oleh ajaran Islam, dengan demikian hal ini memerlukan
penjelasan yang lebih mendalam tentang agama Islam dan dampaknya bagi
ekonomi dan infrastruktur sosial yang berkontribusi terhadap
pengembangan beberapa ilmu pengetahuan termasuk akuntansi.
1. Islam Dan Akuntansi
Agama Islam didrikan di Mekah pada tahun 610 M (Abu Addahab, 2002, p
649) dengan diturunkannya wahyu Al-Quran pada nabi Muhammad Saw, pada
saat itu jazirah Arabia secara umum, dan Mekah khususnya hidup
bersuku-suku dan mengalami perang antar suku selama bertahun-tahun.
Kesukuan bukanlah subjek konvensional atau peraturan tertulis kecuali
peraturan-pertauran yang di tetapkan oleh ketua suku. Perubuhan
signifikan muncul berbarengan dengan pendirian Negara Islam pada tahun
622 M. di Madinah Al-Munawarah ketika prinsip persaudaraan digaungkan.
Hal ini mendorong bahwa tiap muslim adalah saudara tanpa memandang
negara, ras , bahasa, warna, etnis atau factor lain yang membedakan
manusia. Muslim memutuskan balas dendam, mendukung satu sama lain baik
secara financial dan sosial tanpa memandang sejarah perbedaan mereka,
mereka mengerti Islam adalah aturan komprehensif tentang agama dan
kehidupan. Mereka mulai belajar, mengiterpertasikan dan mengaplikasikan
apa yang termaktub dalam Al-Quran. Sebuah negara baru berlandaskan
Al-Qur’an dan menggantikan sistem kesukuan dan peratuan kesukuan.
Al-Qur’an menawarkan panduan ajaran sosial dan perdagangan. Contoh
tentang ajaran sosial adalah tentang aturan pernikahan dan warisan.
Contoh tentang perdagangan adalah peraturan tentang kontrak, keuangan
bisnis, zakat dan ataran etika bagi pelaksanaan bisnis dan legal
formalnya.
Perdagangan meluas keluar dari jazira Arabiah sampai sebagian Eropa,
Afrika dan Timur Jauh menurut Ekelund et al (1990, p 26) “Selama lima
abad, dari 700 sampai 1200 Islam memimpin dunia, organisasi, dan
pemerintahan, dalam budi pekerti sosial dan standar kehidupan, dalam
literature, akademik, ilmu pengetahuan dan filsafat…hal tersebut
merupakan ilmu pengetahuan Muslim yang melestarikan dan megembangkan
matematika Yunani, fisika, kimia, astronomi, dan kedokteran selama
setengah millennium ini, sementara barat tenggelam dengan apa yang
disebut “Dark Ages”
Ekspansi perdagangan mendorong pengembangan mekanisme untuk menjamin
akuntabilitas keuangan, barang diterima dan persekot. Pengenalan dan
pengorganisasian zakat pada tahun 624 M, mendorong akuntansi untuk
tujuan pembayaran dan kalkulasi zakat, pengembangan tersebut melahirkan
pengenalan buku akuntansi, konsep dan prosedur selama pemerintahan
khalifah ke 2, Umar Bin Khattab, yang memerintah antara 13 dan 23 H
(634-644) (Zaid, 2000a, pp. 75-76). Peran zakat sama pentingnya bagi
Negara dan individu khususnya bagi mereka yang menjalankan bisnis.
Individu muslim umumnya, dan wiraswasta khususnya, perhatian dengan
pengembangan dan implementasi pembukuan akuntansi, system dan prosedur
pencatatan. diinspirasi oleh kebutuhan kewajiban syara’ yakni kalkulasi
yang sesuai dan pembayaran zakat sebagai konsekuensi dalam menjalankan
bisnis dan mendapatkan keuntungan, lebih jauh Al-Qura’an mewajibkan
adanya penulisan dan pencatatan hutang dan transaksi bisnis seabagaimana
Allah berfirman dalam Al-Baqarah: 282-283, yakni merupakan surat
terpanjang dalam Al-Qur’an dan menspesifikasi semua syarat penulisan
hutang dan transaksi bisnis.
Pengembangan dan praktek akuntansi pada masyarakat Muslim
merfleksikan Islam sebagai aturan kehidupan komprehensif baik spiritual
maupun matrial. Pengembangan dan praktek-praktek tersebut
didokumentasikan oleh sejumlah akademisi Muslim dari tahun 150 H (768 M)
dalam sejumlah cetakan dan tulisan. Pada awalnya akademisi Muslim
mendekati praktek akuntansi di negara Islam melalui berbagai sudut
pandang. Meskipun begitu, penyebutan “Istilah akuntansi dan akuntan
tidak digunakan pada masa awal dan pertengahan periode negara Islam.
Kepastian tanggal istilah ini mulai digunakan tidak diketahui namun
dapat dilacak dari pengaruh kolonialisasi dan pengenalan kebudayaan
barat pada abad ke 19. istilah al-ameli, mubasher atau kateb al mal
merupakan istilah umum yang digunakan akuntan/bagian pembukuan dan juru
tulis keuangan. Istilah-istilah ini secara luas di tiap bagian berbeda
dari negara Islam. Istilah Al-Kateb menjadi dominan dan digunakan bagi
tiap orang yang ditugaskan untuk menulis dan mencatat informasi baik
kuangan maupun non-keuangan” (Zaid, 200b, p. 330). Isitilah tersebut
sama dengan untuk “menghitung” (to account) dan sebagaimana pada tahun
365 H (976 M) Al-Khawarizmy (1984) menggunakan istilah “muhasabah” untuk
fungsi akuntasi dan orang yang bertanggung jawab dalam hal ini disebut
“muhaseb” (akuntan)
Al-Mazenderany (1363) adalah salah satu akademisi Muslim pertama yang
mendokumentasikan praktek akuntansi pada masyarakat Muslim. Sementara
itu tulisan Al-Mazenderany telah dirujuk oleh Solas dan Otar (1994)
dalam studi mereka tentang praktek pembukuan pemerintahan pada Timur
Jauh selama dinasti Khan (1120-1350) dan Zaid (2000a, 2000b, 2001)
implikasi lebih luas kontribusi ini terhadap sejarah akuntansi. Buku
Al-Mazenderany ditulis pada tahun 765 H (1363 M), dapat ditemukan di
perpustakaan Sulaimaniyah Istanbul. nampaknya buku tersebut tidak di
cetak atau dipublikasi dalam bahasa Ottoman dan tidak ada bukti bahwa
buku tersebut telah diterjemahkan kedalam bahasa lain. Menurut
prononsasi Arab, judul bukunya adalah Risalah Falakiyyah Kitabus
Siyakat, dan ini lah sumber yang digunakan oleh Solas dan Otar (1994)
dan mengejanya dengan “Risale-I Felekiyya”, yang merupakan prononsasi
Turki dengan judul yang sama.
Al-Mazenderany mengemukakan bahwa buku akuntansi lain telah ditulis
sebelumnya. Ia menyatakan bahwa buku-buku tersebut menjelaskan praktek
akuntansi pada masyarakat Muslim dan khususnya di Timur Tengah.
Nampaknya buku-buku tersebut telah ditulis jauh sebelum 1363 M.
Al-Mazenderany lebih jauh mengetahui keuntungan akan ia dapatkan dari
hasil pemikiran dan tulisan terdahulu ketika ia menulis buku tersebut.
Walaupun hasil pemikiran-pemikiran terdahulu sebagaimana disebutkan
Al-Mazenderany akan memberi nilai bagi akademisi sejarah akuntansi, dan
pencarian pemikiran-pemikiran tersebut bisa jadi sangat memfrustasikan,
oleh karena fakta “Negara-negara pada zaman pertengahan di Timur Tengah,
dengan emperium Ottomannya, telah dihancurkan, dan arsip-arsip mereka
juga ikut musnah,… ” [Lewis, 1970, p. 81].
Salah satu karya Al-Mazendarany adalah Mafatieh Al-Uloom (kunci ilmu
pengetahuan, pada tahun 365 H (976 M) dan ditulis oleh Al-Khawarizmy
(1984), Al-Khawarizmy mendiskusikan tipe-tipe pencatatan di Dewans
(kantor) dan buku tersebut digunakan untuk mencatat akun-akun. Di salah
satu bagian buku tersebut didedikasikan bagi “kesekretariatan”,
Al-Khawarizmy menggambarkan istilah teknis yang umum pada masyarakat
Muslim menurut tugas skretaris dan juga menggambarkan sistem akuntansi
yang diimplementasikan selama abad ke 4 H (abad ke 10 M) di nyatakan
pula bahwa buku Al-Khawarizmy merupakan buku yang berpengaruh pada masa
itu (Macve, 1996, p 12). Al-Mazenderany menggambarkan sistem akuntansi
yang digunakan negara Islam lebih lengkap dan detrail dari pada
Al-Khawarizmy. Menurut, makalah-makala terbaru didasari oleh
Al-Mazenderany Risalah Falakiyyah Kitabus Siyakat. Hanya Buku inilah
karya yang dapat ditemukan oleh penulis pada hari dimana detail sistem
akuntansi dan praktek pada awal masyarakat Muslim.
1. Perkembangan Sistem Akuntansi di Masyarakat Muslim
Pengembangan akuntansi pada negara Islam dimotivasi oleh agama dan
diasosiasikan dengan kewajiban zakat pada tahun 2 H (624), akuntansi
nampaknya dimulai dengan pendirian Dewans untuk pencatatan Baitul Mal
pendapatan dan pengeluaran. Tanggal yang pasti aplikasi pertama kali
sistem akuntansi pada negara Islam tidak diketahui, namun sistem
tersebut didokumentasikan pertama kalinya oleh Al-Khawarizmy pada tahun
365 H (976). Sistem akuntansi disusun untuk mrefleksikan tipe proyek
yang dikerjakan oleh negara Islam sejalan dengan pemenuhan terhadap
syara’. Projek-projek tersebut termasuk industri, pertanian, keuangan,
perumahan dan proyek jasa. Sistem akuntansi menggabungkan rangkain
pembukuan dan prosedur pencatatan, beberapa prosedur-prosedur tersebut
meruapakan sifat dasar dan digunakan untuk semua sistem akuntansi,
sementara yang lain diperuntukkan bagi sistem akuntansi tertentu.
Sebagaimana disebutkan diatas, orang yang diberi tanggung jawab ini
disebut dengan Al-Kateb (Pembukuan/akuntan)
Tujuan sistem akuntansi adalah untuk menjamin akuntabilitas,
memfasilitasi pengembilan keputusan secara umum, evaluasi proyek,
meskipun sistem ini diinisiasi bagi tujuan pemerintahan, namun beberapa
juga diimplementasikan oleh wiraswasta untuk mengukur keuntungan yang
akan dikenakan zakat, kesuksesan aplikasi sistem akuntansi oleh
pemerintah telah mendorong wiraswasta untuk mengadaptasi sistem yang
sama khususnya untuk tujuan zakat.
Sistem akuntansi didiskusikan dan dianalisa disini secara mendalam
telah disebutkan oleh Al-Khawarizmy dan detailnya oleh Al-Mazenderany,
sistem akuntansi tersebut berorientasi income-statement (laporan laba
rugi). Dan dirancang untuk menyediakan kebutuhan segera negara Islam,
beberapa sistem akuntansi disandingan dengan transaksi monetary dan
monetery sementara yang lain hanya disandarkan pada ukuran moneter.
Alasan penggunaan moneter dan non moneter secara simultan adalah untuk
menjamin ketepatan pengumpulan, pembayaran, pencatatan dan kontrol
pendapatan dan pengeluaran negara.
Tujuh sistem akuntansi khusus di kembangkan dan dipraktekkan dalam
negara Islam sebagaimana didokumentasikan oleh Al-Khawarizmy dan
Al-Mazendariny. Yang sekarang akan diekplorasi.
Stable Accounting (Accounting for Livestock): sistem ini dibawah
pengendalian manajer pemeliharaan ternak dan membutuhkan relevnasi
transaksi dan pristiwa dicatat saat terjadinya hal-hal tersebut,
transaksi dengan sistem ini misalnya, makanan untuk unta, kuda, dan
keledai; gaji, hewan yang dijual, disumbangkan atau telah mati.
Rancangan khusus sistem ini merefleksikan pentingnya ternak bagi
individu dan negara. Disamping hewan sebagai sumber makanan juga sebagai
alat transporatsi komersial, militer. ternak digunakan pula untuk
membawa makanan dan orang lintas dunia muslim dan diluar itu, serta alat
transportasi penting khususnya bagi komunitas yang tidak mempunyai
akses pelabuhan. Meskipun stable accounting di rancang bagi negara,
implikasinya di sektor privat sama karena proporsi signifikan populasi
di satukan dengan bisnis ternak, untuk konsmusi atau transportasi dan
kebutuhan akan sistem pencatatan dan pengukuran keuntungan untuk tujuan
kalkulasi pembayaran zakat, hal ini sama dengan praktek sekarang dimana
“insentif akun menunjukkan keseluruhan ‘keuntungan’ atau ‘kerugian’
peternakan moderen sebagai syarat pendapatan daerah, begitu pula dengan
perbankan, dan (dalam kasus peternakan yang dikelola dan dimiliki oleh
perusahaan terbatas) tindakan perusahan sebagai akun preparation untuk
pemilik saham” [Macve, 1994, p. 75].
Construction Accounting: Sistem ini digunakan untuk akun proyek
konstruksi yang ditangani oleh pemerintah. Sistem akuntansi konstruksi
memerlukan pemeliharaan jurnal terpisah bagi tiap situs konstruksi dan
membutuhkan pencatatan untuk tiap transaksi relevan dan peristiwa dari
tiap mulainya proyek sampai selesai. Sistem akuntansi konstruksi
membutuhkan bahwa tiap proyek individual di daftar pada awal jurnal,
diikuti dengan persyaratan konstruksi. Kemudian diikuti pula denan
catatan transaksi dan pristiwa. Transaksi dicatat dibawah pengawasan
penanggung jawab proyek, yang disebut dengan arsitek. Persyratan
pengawasan yang sama juga berlaku bagi akuntansi peternakan dan
menyarankan adanya kontrol internal. Tiap item dicatat dalam jurnal
termasuk penerimaan matrial, pembayaran gaji bagi tukang kayu, tukang
batu dan pekerja konstruksi lainnya. Sistem akuntansi konstruksi
mensyaratkan bahwa surplus atau defisit penyelesaian proyek akan
dihitung dan diungkap, dan tiap perbedaan dijelaskan. Prasyarat ini
menyarankan penggunaan budgeting (penganggaran)
Rice Farm Accounting (Agricultural Accounting):Hal ini nampaknya
merupakan sistem non-moneter karena memerlukan pencatatan quantitas padi
yang diterima dan dibayar serta spesifikasi lahan hasil pertanian.
Sistem ini dijelaskan oleh Al-Mazadarany dan Al-Khawarizmy dengan tidak
adanya pemisahan tugas antara pencatatan dan pengaturan persediaan. Hal
ini tidaklah biasa-sistem akuntansi yang lain mempersatukan spesifik
internal dan prosedur kontrol umum. Hal ini nampaknya bahwa dalam bentuk
ini didesain bagi kepemilikan negara untuk tujuan perhitungan
penerimaan padi dan distribusi zakat dibanding dalam bentuk moneter.
Prasyarat unuk mengidentifikasi lahan dimana padi dipanen dan distrik
pembayaran zakat juga disarankan Sistem non-moneter akuntansi pertanian
mirip dengan akun grain-nya Zenon atau Appianus Egyptian, sebagaimana
disebutkan okeh Macve (1994, p. 59) hal ini pula memerlukan pencatatan
penerimaan dan pengeluaran butir padi dalam bentuk fisik tanpa merujuk
pada ukuran moneter.
Warehouse Accounting: jenis ini didesain untuk akun pembelian
persediaan negara. Sistem ini ditempatkan dibawah pengawasan secara
langsung oleh seseorang yang dikenal dapat dipercarcaya. Sistem ini
mensyaratkan pencatatan detail dari tiap barang yang diterima dan sumber
pengiriman dalam buku yang dipersiapkan untuk tujuan tersebut.
Kecepatan dan ketepatan pencatatan pembayaran barang di tiap buku khusus
dibutuhkan. sehingga paling tidak ada dua buku khusus yang digunakan
dalam sistem ini. Namun disini tidak dinyatakan apakah hanya pencatatan
barang yang diterima dan dikeluarkan dalam bentuk moneter, atau dalam
bentuk fisik maupun moneter, meskipun yang terakhir tampak seperti
praktek sekarang ini. Hal tersebut juga memerlukan bahwa hitungan
persediaan dilakukan pada akhir tahun keuangan dan hasilnya
diperbandingkan dengan persediaan yang dicatat dalam buku. Menjadi
kewajiban untuk menyelediki penyebab perbedaan dan menanyakan kepada
penjaga simpanan tentang hal itu. Penjaga simpanan secara personal
mengerti tiap kejadian antara yang ada di buku dengan persediaan aktual.
Dengan demikian warehouse accounting (akuntansi gudang) berbeda dari
“dunia kuno, dimana persediaan barang di jaga dalam bentuk quantitatif,
bentuk fisik” (Macve, 1996, p. 6). Hal ini mengkofirmasikan bahwa sistem
kontrol internal berjalan karena adanya penjaga simpanan bukan bagian
pembukuan. Skala persediaan merujuk pada akuntansi gudang, hal ini
kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh perusahaan swasta.
Mint Accounting (Currency Accounting): Sistem akuntansi ini dirancang
dan diimplementasikan di negara Islam sebelum abad ke 14 M, sistem ini
memerlukan kecepatan konfersi emas dan perak yang diterima oleh otoritas
keuangan dalam bentuk batangan atau koin. Lebih jauh sistem ini
mensyaratkan kecepatan pengiriman batang emas dan koin kepada pihak
berwenang. Hal ini menyarankan bahwa sistem tidak mengizinkan bahan baku
(emas dan perak) atau produk akhir (emas batangan dan koin) disimpan
untuk waktu lama. Syarat kecepatan konfersi, pencetakan dan penyerahan
diinisiasi untuk mencegah pencurian. Emas batangan dan koin akan
diserahkan pada departemen yang setara dengan departemen keuangan
sekarang. Sistem akuntansi pencetakan uang mensyeratkan tiga jurnal
khusus. Yang pertama digunakan untuk mencatat persediaan, kedua untuk
mencatat penerimaan dan yang ketiga digunakan untuk mencatat
pengeluaran. Pembelian dan gaji adalah contoh biaya yang dimasukkan oleh
otoritas pencetakan, dan juga merupakan kewajiban untuk mencatat
perjanjian dan kondisi layanan yang disediakan oleh otoritas pencetakan
dalam jurnal pengeluaran. Penerimaan otoritas pencetakan dikalkulasikan
sekitar 5% dari biaya emas dan perak, atau sesuai dengan jumlah yang
telah ditentukan. Kriteria aplikasi dan kalkulasinya tidak disebutkan
oleh Al-Mazandarany dan Al-Khawarimy.
Sheep Grazing Accounting: Akuntansi bentuk ini diinisiasi dan
diterapkan oleh otoritas pemerintahan di negara Islam, dan digunakan
oleh pihak swasta untuk mengukur keuntungan atau kerugian untuk tujuan
zakat. Akuntansi penggembalaan (Sheep Grazing Accounting) ini berbeda
dengan akuntansi peternakan ala Yunani dan Roma “dimana akun-akunnya
tidak dimaksudikan untuk menunjukkan lebih dari pergerakan kas dan
sejenisnya,… ” [Macve, 1994, p. 78] dibawah sistem ini semua hewan yang
diserahkan pada penggembala dicatat dalam buku yang dirancang sesuai
tujuan tersebut. Penerimaan pendapatan baik dalam bentuk kas atau yang
lainnya juga dicatat. Penerimaan yang diterima oleh penggembala termasuk
binatang dan produk kambing. Sistem ini sepertinya menggunakan beberapa
buku khusus karena persyaratan untuk mencatat ‘hewan yang
diserahkan’-aset, dalam sebuah buku yang digunakan untuk mencatat
pengeluaran. Hal ini belum jelas apakah binatang yang diterima dicatat
sebagai penerimaan atau dikapitalisasikan dan dicatat dalam buku aset.
Baik Al-Mazendarany atau Al-Khawarizmy tidak mengelaborasi isu ini.
Klasifikasi yang sesuai dan pengungkapan yang memadai merupakan corak
akuntansi peternakan yang membutuhkan pemisahan klasifikasi domba
jantan, domba betina, kambing dan yang sejenisnya. Sistem ini juga
mensyaratkan pencatatan yang sesuai dan klasifikasi penyembelihan domba
dan pendistribusian produk daging, sekali lagi, buku yang relevan tidak
di spesifikasikan baik oleh Al-Mazendarany atau Al-Khawarizmy. Kerugian
juga dicatat dalam buku, termasuk hal yang berkaitan dengan bencana
seperti kekeringan.
Treasury Accounting: sistem ini digunakan oleh pemerintah dan
memerlukan catatan rutin semua penerimaan perbendaharaan dan pembayaran.
Sepertinya pengukuran moneter dan non moneter digunakan sebagai catatan
penerimaan perbendaharaan dan pembayaran dalam bentuk kas dan yang
sejenisnya. Hal ini termasuk persediaan yang dibutuhkan oleh pemerintah
dan atau sultan seperti emas, perak, obat-obatan dll. Meskipun terdapat
prasyarat umum untuk mencatat transaksi dengan cepat dan aplikatif bagi
semua sistem akuntansi, (lihat prosedur 1 dibawah), tidak seperti sistem
lain, sistem ini secara khusus dibutuhkan dalam akuntansi
perbendaharaan
Sistem akuntansi perbendaharaan memerlukan ketetapan pemisahan kolom
bagi transaksi kas. Transaksi non kas diklasifikasikan menurut sifat,
warna dan spesifikasi lain, dan kemudian di catat secara detail. Sistem
ini juga membedakan dua metode pencatatan yakni metode Arab dan Persia.
Metode Arab membutuhkan pencatatan arus kas masuk dan barang di sebelah
kanan jurnal dan arus kas keluar di sisi kiri jurnal, hal ini
menyarankan bahwa fungsi jurnal baik untuk jurnal dan buku besar, dan
hal ini dapat pula menjelaskan ketiadaan buku besar terpisah dalam
sistem ini. Halaman berbeda juga dialokasikan bagi tiap item (akun).
Nyatanya bahwa sebagian besar pembukuan adalah orang Arab yang mendorong
penggunaan metode Arab. Metode persia membutuhkan dua buku terpisah,
satu untuk arus kas masuk dan barang dan yang satunya untuk arus kas
keluar dan barang. Metode Persia tidak membutuhkan itemisasi arus masuk
dan arus keluar kas dan barang, sebagaimana metode Arab, dengan demikian
hal ini menjelaskan mengapa metode Arab dianggap superior.
Kebutuhan akan standarisasi informasi nampaknya menjadi prioritas
dalam perencanaan dan implementasi sistem akuntansi. Sistem yang sama
diaplikasikan bagi siapa saja yang berwenang. Standarisasi informasi
juga terbukti pada laporan akuntasi pada periode berbeda Misal dari
pelaporan ini adalah Al-Khatimah (laporan bulanan) dan Al-Khatimah
Al-Jame’ah (Laporan terahir keseluruhan), [Al-Khawarizmy, 1984, pp. 52,
81]. Sejalan dengan sistem akuntansi dan kebutuhan bagi generasi
penerus, laporan terstandar lebih jauh didorong spesifikasi dokumen
pendukung dan prosedur pencatatan umum. Yang terakhir adalah subjek
bahasan selanjunya.
D. Prosedur Pencatatan Pada Masyarakat Muslim
Pengembangan dan implementasi sistem akuntansi pada negara Islam
didukung oleh prosedur wajib pencatatan. Beberapa prosedur-prosedur
tersebut memilki sifat-sifat umum dan digunakan untuk tiap sistem
akuntansi sementara yang lain memilki sifat khusus dan berhubungan
dengan sistem tertentu. Pengenaan zakat dan perbedaan dari sejumlah
pendapatan, pengeluaran dan aktifitas terkait yang besar di negara Islam
karenanya memerlukan adanya prosedur kontrol. Prosedur-prosedur ini
dapat membuat petugas mampu memonitor dan menemukan tiap difisit dan
surplus pada perbendaharaan negara yang muncul dari imbalanced book. Dua
kasus yang merefleksikan efektifitas kontrol internal ini adalah.
Pertama temuan difisit satu dirham dalam Baitul Maal yang ditemukan oleh
sahabat nabi Saw Amer Bin Al-Jarrah yang melaporkannya pada khalifah
kedua, Umar Bin Khattob (Lasheen, 1973, p. 13). Al-Mazendarany (765 H,
1363) juga menguraikan pentingya kontrol internal untuk
diimplementasikan di seluruh Diwan. Kasusu kedua adalah temuan
pengeluaran tidak tercatat yang menghasilkan defisit. Defisit ini
mengakibatkan akuntan membayar 1.300 dinar untuk tidak mencatat
transaksinya. Biaya penghapusahan ini kemudian terungkap ketika neraca
pembukuan diperbandingkan dengan jadwal dan neraca lain di diwan utama
pada tahun keuang terakhir (Lasheen, 1973, p. 13) hal ini juga
mengindikasikan bentuk audit telah dipraktekkan setelah pendirian negara
Islam pada tahun 622 M.
Lasheen (1973, pp.163-165)
mencatat beberapa prosedur pencatatan umum diimplementasikan setelah
abad ke 2 H (8 M) contoh prosedur pencatatan yang dikembangkan dan
diaplikasikan oleh pemerintah dan swasta pada negara Islam adlah sebagai
berikut:
1. Transaksi harus dicatat sesegera mungkin ketika terjadi
2. Transaksi diklasifikasikan menurut sifatnya. Hal ini membutuhkan
tiap transaksi yang sama dan homogen diklasifikasikan dibawah satu akun
dan satu pencatatan]
3. Penerimaan dicatat di sebelah kanan dan sumber penerimaan diidentifikasi dan diungkap
4. Pembayaran dicatata dan secukupnya dijelaskan di sisi kiri
5. Catatan Transaksi secara hati-hati dijelaskan
6. Tidak ada tempat yang ditinggalkan diantara dua transaksi. Jika
adanya ruang yang ditinggal karena alasan tertentu, maka garisnya harus
digambar melwati ruang. Garis ini disebut Attarkeen
7. Koreksi catatan Transaksi dengan menulis ulang atau menghapus
adalah hal yang dilarang. Jika Al-Kateb (Akuntan) salah dalam estimasi
jumlah, ia harus membayar perbedaan tersebut kepada Diwan. Jika
pengeluaran telah dihapus, Alketab diharuskan membayar dalam bentuk
tunai walaupun dapat dibuktikan pengeluaran tersebut benar-benar
terjadi.
8. Jika Akun telah ditutup, tanda tangan tertentu di tempatkan dalam pembukuan untuk merefleksikan pengungkapan akun
9. Tiap Transaksi yang sama dicatat dalam buku utama yang kemudian
diposting dalam buku khusus yang disediakan untuk tipe transaksi
tersebut
10. Posting pada tiap transaksi yang serupa dilakukan oleh orang yang
tidak berhubungan dengan pencatat transaksi harian dan buku lain.
11. Neraca, disebut Al-Hasel (perbedaan diantara dua jumlah), harus diekstrak
12. Laporan bulanan dan/atau tahunan harus disiapkan. Laporan ubu
harus detail dan menyediakan informasi yang cukup, contohnya, panen yang
akan datang, ketika terjadi dan bagaimana distribusinya
13. Pada akhir tiap tahun keuangan, sebuah laporan harus disiapkan
oleh Al-Kateb mendetailkan semua barang dan dana dibawah wewenang dan
managementnya
14. Laporan berkala disiapkan oleh Al-Kateb akan direview (audit) dan
diperbandingan dengan laporan tahun sebelumnya dan dengan laporan yang
disimpan dalam diwan
Laporan 1 dan 2, terkait dengan waktu pencatatan dan kepentingan
klasifikasi, yang diinisiasi untuk tujuan zakat. Sesuai dengan ketentuan
syari;ah tipe pendapatan tertentu adalah subjek zakat, sementara aset
(kecuali untuk kebutuhan personal) adalah subjek zakat hanya jika sudah
mencukupi 12 bulan sejak pembelian. Periode 12 bulan ini dikenal dengan
istilah Al-Hawl. Konsep periodesasi ini telah menjadi corak dalam
Akuntansi Islam sejak tahun 624 M. kecepatan pencatatan dan klasifikasi
adalah suatu hal penting dalam perhitungan zakat pendapatan dan kekayaan
yang disimpan. Asset diklasifikasikan menurut tipenya masing-masing
seperti peralatan, hutang, kas dll. Untuk tujuan zakat aset tertentu
diklasifikasikan lebih jauh lagi. Ini adalah kasus hutang dimana hutang
disubklasifikasikan kedalam tiga kategori seperti Ar-Ra’ej Men Al- Mal
(collectable debts), Al-Munkaser Men Al-Mal (uncollectable debts) and
Al-Mutha’adhdher Wal Mutahayyer Wal Muta’akked Men Al- Mal (difficult,
doubtful and complicated debts) [AlKhawarizimy, 1984, p. 82].
Prosedur 3 terkait dengan credit entries sementara prsedur empat
menggambarkan debit entries. Sementara Heaps (1985) menyatakan bahwa
“Dunia kuno memasukan penerimaan dan pengeluran uang pada halaman yang
berlawanan seperti Debet dan Kredit” (pp.19-20)
ia tidak mengidetifikasikan “sejarah” ini walaupun mereka memasukkan
negara Islam. Prosedur 3 dan 4 menyiratkan “Metode Arab” dibawah
akuntansi perbendaharaan yang mensyaratkan pencatatan arus masuk,
“debit” di sebelah kanan dan arus keluar “kredit” di sebelah kiri. Hal
ini memungkinkan dua halam tersebut digunakan, dimana debit entries
dicatat disebelah kanan dan credit entries disebelah kiri. Sehingga,
halaman tersebut dibagi dalam dua kolom untuk mencatat debit dan kredit.
Format ini berbeda dengan Yunani dan Romawi dimana pembukuan ditetapkan
“sebagian besar dalam istilah penerimaan dan pengeluaran daripada debit
kredit…mereka tidak pernah sejauh memisahkan apa yang sekarang kita
sebut debit dan kredit dengan memasukkan keduanya dalam kolom terpisah”
[de Ste Croix, 1956, p. 14]. Tidak ada bukti untuk menyarankan bahwa
bentuk pencatatan ini, sebagaiman di minta dalam prosedur 3 dan 4
merepresentasikan bentuk double-entry bookkeeping, namun hal ini menjadi
pendahuluan bagi pengembangan sistem double entry bookkeeping.
Prosedur 5 membutuhkan kehati-hatian dalam menjelaskan pencatatan
transaksi. Seperti diasosiasikan dengan audit. Auditing mewajibkan dan
fokus pada buku akun Al-Kalkashandy (1913, vol 1, pp. 130-139
menjelaskan peran reviewer (auditor) dengan mengatakan:
…adalah suatu hal yang umum bagi seseorong untuk tidak melihat
kesalahannya namun bisa melihat kesalahan orang lain, maka penting bagi
kepala Diwan untuk menunjuk seseorang untuk mereviewnya. Orang ini harus
memilki standar bahsa yang tinggi, penghafal Qur’an (hafidz), cerdas,
bijaksana, dapat dipercaya dan bukan orang yang merugikan ataupun
bermusuhan, ketika reviewer puas dengan isi buku yang telah direview, ia
harus menandatangai pada buku tersebut sebaai indikasi kepuasannya akan
konten yang terkandung didalamnya.
Prosedur 6 membutuhkan tidak ada ruang sisa antar transaksi dan jika
ada ruang yang tertinmggal dengan berbagai alasan, sebuah garis
dibutuhkan untuk digambar pada sebrang halaman. Hal ini menunjukkan
risiko misinterpertasi dan manipulasi, jika garis kosong atau halaman
tertinggal dalam bukun akuntansi. Prosedur ini sebagai pelengkap
prosedur 1, dan dirancang untuk menghindari perhitunan ganda transaksi
daripa kejadian aktualnya. Dengan demikian hal ini mengindikasikan
signifikansi kotroling dalam negara Islam.
Bentuk lain dari kontrol internal yang melengkapi prosedur 1 dan 6
dikhususkan pada prosedur 7. Pelarangan penulisan berlebihan dan
penghapusan pada prosedur ini dimaksudkan untuk koreksi atas pencatatan
transaksi. Yang bisa diinterpertasikan sebagai peringatan bagi mereka
yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai hukumannya adalah
dikenakan denda pada tiap perbedaan antara transaksi aktual dengan apa
yang dicatat. Pembayaran denda oleh al-kateb meski kejam namun cukup
efektif.
Prosedur 8 dimaksudkan untuk mencegah Al-Kateb dari memasukkan
transaksi setelah tanggal penutupan, prosedur ini memerlukan ‘tanda
tangan khusus pada buku’ sifat dari tanda khusus tersebut tidak
dijelaskan namun merujuk pada tanda uniq sebagai tanda tangan orang yang
berwenang dalam diwan (Departemen Akuntanasi). Pensyaratan prosedur ini
lebih jauh mengkonfirmasikan aplikasi cut-off dan periodisasi.
Prosedur 9 membutuhkan posting bagi transaksi yang mirip dari buku utama
ke buku khusus. Posting ini dapat diinisiasi untuk tujuan persiapan
pernyataan keuangan seperti Al-Khitmah and AlKhitmah Al-Jame’ah, meski
tidak dinyatakan dalam buku khusus atau jurnal khusus, namun nampaknya
dinyatakan dalam lajur. Kegunaan lajur khusus tersebut digunakan pada
saat khalifah ke 5, Omar bin Abdul Aziz (khalifah bani Umayah), yang
hidup antara tahun 61 dan 101 H (681-720 M) dan memerintah antara tahun
99 dan 101 H (718-101 M) (Ibn Saad, 1957, vol 1, p 400). Prosedur
pencatatan ini dapat berfungsi sebagai kontrol internal untuk
pengumpulan dna pembayaran zakat sebagaimana tercatat pengumpulan zakat
dan distribusianya adalan yang pertama kali dicatat dalam jurnal umum
dan kemudian diposting kedalam jurnal khusus yang sesuai,
merepresentasikan tipe zakat yang dikumpulkan atau dibayarkan.
Pernyataan ini didukung oleh prosedur 10 yang secara explisit
mensyaratkan posting oleh
C. Kesimpulan
Makalah ini mengungkapkan berbagai macam sistem akuntansi yang
dikembankan dan diimplementasikan dalam masyarakat muslim untuk memenuhi
kebutuhan negara Islam dalam rangka menjalankan syari’ah, zakat adalah
faktor terbesar dalam berkontribusi terhadap pengembangan sistem
akuntansi, pebukuan, prosedur pencatatan dan pelaporan. Sistem akuntansi
ini memerlukan pendirian dan spesifiasi pencatatan dan prosedur
kontrol. Klasifikasi transaksi dan pengungkapan yang sesuai menjadi
bagian integral dari berbagai macam sistem akuntansi tersebut.
Pernyataan keuangan baik bulanan maupun tahunan disiapkan berdasarkan
periodisasi. Penganggaran juga merupakan corak dalam sistem akuntansi
dan digunakan sebagai prosedur kontrol internal selain digunakan sebagai
alat analisa dan interpertasi pernyataan keuangan bulanan maupun
tahunan. Auditing adalah pkartek yang telah dijalankan dalam negara
Islam.
Meski sistem-sistem tersebut dirancang dan diimplementasikan oleh
otoritas pemerintah, nampaknya pengusaha muslim juga mengadopsinya untuk
tujuan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa prosedur pencatatan
dikembangkan dan dijalankan dalam masyarakat Muslim yang mirip dengan
apa yang ditrapkan di Eropa pada abad pertengahan. Bahkan, Ball (1960)
menyatakan “Kita secara kuat menduga bahwa pedagang Italia mengabaikan
metode pembukuan yang digunakan oleh pelanggan terbaik mereka” (pp.208-209)
dan dianatara mereka adalah pengusaha muslim. Hubungan antara sistem
akuntansi yang dikembangkan di negara Islam dan pengembangan berikutnya
masih merupakan subjek penelitian sejarah