Dari catatan sejarah islam,
praktek-praktek akuntansi islam telah diterapkan pada jaman Rasulullah
SAW, tepatnya setelah terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah dan
diteruskan pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Pada masa itu dibentuk
undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan
(syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan
penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.
Rasulullah SAW sendiri pada masa
hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk
menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal”
(pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam
menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya
ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan
fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan
manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum
yang harus dipedomani dalam hal tersebut.
Akuntansi adalah ilmu informasi yang
mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara
melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang
dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva,
utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
Jika dibandingkan dengan penjelasan
dalam Al Quran, kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan
jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam
hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam
surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:
”Sempurnakanlah takaran dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan
umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur
(menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran
kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga
seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang
Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari
bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah
manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.
Manajemen bisa melakukan apa saja dalam
menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga
secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu
diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan
beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini
dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah
dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam
bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan
dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila
kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian
di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep
Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian
kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional.
Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya,
yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an.
“……… Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
Tujuan akuntansi syariah adalah
terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris,
transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial
yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan
Allah SWT.