Istilah Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) mulai kita ketahui pada tahun 2004 sebagaimana terdapat pada Pasal 1 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun,
mengenai apa dan bagaimana BLU/BLUD, diantara penyelenggara pemerintah
sendiri hingga kini kerap kali masih terdapat perbedaan persepsi.
Sejak digulirkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada tanggal
13 Juni 2005, kita masih cukup asing mengenai bagaiman BLU ini
seharusnya dibentuk dan dikeloa, walaupun di tahun itu beberapa rumah
sakit pemerintah dilingkungan Kementerian Kesehatan (Departemen
Kesehatan waktu itu) telah dibentuk menjadi BLU. Bagi kita yang
berkiprah di daerah, titik terang mengenai BLUD mulai terlihat ketika
Menteri Dalam Negeri H. Mardiyanto pada tanggal 7 November 2007
mengeluarkan Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007. Dan
pemahaman kita semakin jelas saat mendagri mengeluarkan Pedoman
Penilaian Penerapan PPK-BLUD melalui Surat Edaran Nomor 900/2759/SJ pada
tanggal 10 September 2008. Surat Edaran ini mengandung makna tata cara
penilaian administratif terhadap SKPD yang akan menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLUD. SE ini berisi definisi operasional dan
pedoman penilaian termasuk bobot nilai dokumen, indikator dan unsur yang
dinilai dari masing-masing dokumen persyaratan PPK-BLUD. Secara tidak
langsung SE ini mengajarkan kepada kita tentang apa dan bagaimana
seharusnya dokumen persyaratan PPK-BLUD dipersiapkan.
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara,
BLU diartikan sebagai instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Di daerah, pola pengelolaan keuangan BLUD dapat
diterapkan pada Rumah Sakit Umum Daerah dan layanan kesehatan lainnya,
layanan pendidikan, pengelolaan kawasan, pengelolaan dana bergulir untuk
usaha kecil dan menengah, lisensi, dan lain-lain, baik yang saat ini
merupakan SKPD maupun UPTD dibawah SKPD. Instansi ini biasanya masih
menghadapi berbagai macam permasalahan berkaitan dengan banyaknya
pekerjaan yang harus dilakukan (padat karya), jumlah personil yang harus
diorganisasikan (padat SDM), banyaknya asset yang harus dikelola (padat
teknologi), besarnya biaya yang harus dikelola untuk operasional (padat
modal), maupun banyaknya permasalahan yang harus diselesaikan (padat
masalah). Sementara harapan dari stakeholder terhadap instansi
ini adalah agar tetap dapat maksimal melayani masyarakat, dapat hidup
dan berkembang, mandiri dan dapat bersaing dengan bisnis sejenis baik
dari sesama instansi pemerintah maupun terutama dengan swasta.
Perubahan menjadi BLUD, bukan semata berkaitan dengan “kemerdekaan”
berupa fleksibilatas pengelolaan keuangan berupa pendapatan fungsional
dapat langsung digunakan untuk operasional pelayanan tanpa harus disetor
ke kas daerah, namun lebih kepada perubahan pola manajemen dan
paradigma seluruh unsur di dalam organisasi BLUD.
Perubahan paradigma menuntut kesadaran dan kesungguhan semua personil
dalam BLUD. Untuk sebuah RSUD misalnya, setelah menjadi BLUD, kini
tidak lagi hanya sekedar melayani pasien/masyarakat namun harus dapat
memberikan kepuasan terhadap pelanggan. Pelaksanaan kegiatan bukan hanya
sekedar pelaksanaan DPA tahun berjalan sebesar anggaran yang telah
ditetapkan, namun harus berhitung profit untuk menghidupkan dan
mengembangkan bisnis/usaha rumah sakit. Demikian juga “kebiasaan”
meminta dana dan menggunakan anggaran kepada pemerintah daerah baik
kota/kabupaten/provinsi, harus diimbangi dengan intensifikasi dan
ekstensifikasi usaha dan membangun jiwa enterpreneur, karena
dengan BLUD, RSUD tersebut sudah sedikit dilepaskan dari aturan
birokrasi yang “membelenggu” dan diberikan keleluasaan mengatur
pendapatan fungsionalnya. Dan tentunya, perubahan pola manajemen dan
perubahan paradigma ini diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan
kebanggaan profesi bagi setiap insan rumah sakit dimanapun mereka
diposisikan dalam memberikan pelayanan kesehatan dan dukungan
administrasi bagi masyarakat.
Paradigma baru sebagai sebuah Badan Layanan Umum Daerah juga harus seimbang antara “Enterprising the government” dalam arti mewiraswastakan instansi pemerintah dengan pengelolaan instansi pemerintah ala bisnis, dengan “Public Service Oriented”
yaitu tetap berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Hal inilah yang harus tetap diingat oleh kita semua bahwa tujuan
penerapan PPK-BLUD adalah lebih kepada peningkatan efisiensi dan
efektivitas pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktuvitas dan penerapan prektek bisnis yang sehat.
Maksud baik para penggagas BLUD harus kita pahami yaitu agar BLUD
dapat memecahkan berbagai permasalahan yang selama ini dihadapi dalam
pelayanan kepada masyarakat. Sebuah rumah sakit yang harus melakukan
pelayanan setiap waktu tentunya tidak ingin setiap awal tahun anggaran
menghadapi kendala keterbatasan obat, alat kesehatan, makan-minum pasien
dan lain-lain hanya karena belum selesainya proses penganggaran di
pemeritah daerah. Optimalisasi pelayanan ini dapat diatasi manakala
pendapatan fungsional bisa langsung digunakan untuk pengadaan obat/alkes
dan lain-lain serta penyederhanaan proses pengadaan barang/jasa yang
tetap menguntungkan rumah sakit. Lebih jauh dari itu, keterbatasan dan
kelancaran dana operasional serta ketergantungan terhadap subsidi
pemerintah akan sedikit teratasi manakala BLUD dapat memerankan diri
sebagai sebuah “bisnis swasta” yang mampu menarik sebanyak mungkin
pelanggan, dan bersaing dengan bisnis sejenis dalam cakupan wilayah yang
telah diperhitungkan dalam Rencana Strategi Bisnis.
Perbedaan persepsi dan kendala yang dihadapi
Dalam kenyataanya, perjalanan sebuah RSUD (misalnya) menjadi BLUD
masih menghadapai berbagai kendala baik dari internal RSUD sendiri
maupun dengan pihak ekternal. Kendala-kendala yang dihadapi lebih kepada
perubahan paradigma yang masih membutuhkan proses pembelajaran dan
pemahaman tentang BLUD yang masih perlu disosialisasikan. Adapun
perbedaan persepsi dan kendala yang sering terjadi antara lain berasal
dari:
1. Internal Rumah Sakit
Perubahan status menjadi sebuah BLUD seharusnya direspon oleh setiap
individu dalam rumah sakit, dimanapun posisi dan peran yang diemban
dalam memberikan kontribusi bagi kemajuan rumah sakit. Moment penting
“lahirnya BLUD” seringkali hanya diketahui oleh segelintir personil
dalam jajaran manajemen terutama yang berhubungan langsung dengan
pengelolaan keuangan, sedangkan sebagian besar pegawai yang melaksanakan
pelayanan mungkin tidak tahu apa itu BLUD sehingga tidak ada perubahan
paradigma mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan setelah menjadi
BLUD.
2. Penyelenggara Pemerintahan
Terdapat dua kekurangtepatan anggapan dari pemerintah daerah tempat BLUD bernaung, yang pertama anggapan yang over estimate
terhadap keberadaan BLUD. Pemerintah daerah beranggapan dengan adanya
perubahan menjadi BLUD, rumah sakit akan benar-benar mandiri dan lepas
dari beban pembiayaan pemerintah daerah, termasuk belanja modal bahkan
pembayaran gaji pegawai. Anggapan kedua, walaupun tidak dominan tetapi
masih tetap ada, yaitu kekhawatiran dengan adanya fleksibilitas
pengelolaan keuangan, pemerintah daerah tidak lagi dapat mengontrol
rumah sakit yang dapat mengakibatkan rumah sakit tidak dapat berkembang,
atau bahkan jika terlalu pesat berkembang, rumah sakit tersebut tidak
lagi dapat memberikan kontribusi terhadap pemerintah daerah dikarenakan
pendapatan rumah sakit tidak lagi disetorkan ke kas daerah.
3. Lingkungan Bisnis/Pihak Ketiga
Pengaruh lingkungan bisnis/pihak ketiga ini terkait dengan mitra
rumah sakit dalam menjalankan bisnis/pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Pihak ketiga berharap “praktek bisnis swasta” yang biasa
mereka lakukan bisa diterapkan di rumah sakit pemerintah setelah menjadi
BLUD. Misalnya, sebuah perusahaan tertentu siap menjalin kerjasama
layanan kesehatan bagi seluruh karyawannya asalkan ada imbal balik yang
bisa diperoleh “manajemen” dari setiap pembayaran layanan kesehatan
terhadap para karyawan tersebut (sedangkan tarif layanan kesehatan BLUD
yang diberlakukan masih tetap ditentukan oleh pemerintah daerah).
Demikian juga persaingan rekanan dalam penyediaan kebutuhan rumah sakit
yang kerap kali tidak sesuai dengan prosedur.
Ada satu hal lagi permasalahan yang dihadapi oleh BLUD yang sulit
untuk dikatogorikan ke dalam tiga kelompok di atas, yaitu mengenai
keberadaan dokter rumah sakit, terutama dokter ahli. Secara internal,
dokter ahli merpakan asset berharga dan ujung tombak pemasaran rumah
sakit. Namun kebijakan pemerintah hingga saat ini bagi sebagian pihak
dianggap belum memberikan penghargaan yang wajar bagi dokter atas jasa
layanan rumah sakit (jika dibandingkan dengan swasta). Walaupun ada
pendapat bahwa dokter yang bekerja di rumah sakit telah mendapatkan gaji
dan fasilitas kerja dari pemerintah, namun penghargaan profesi dan
imbalan materi yang terlalu jauh perbedaanya, secara manusiawi orang
akan memaklumi manakala dokter tersebut akan mencari “tambahan” di
tempat lain baik bekerja di rumah sakit swasta maupun membuka prktek
pelayanan kesehatan yang kerapkali menyita jam kerja sebagai dokter
rumah sakit pemerintah.
Beberapa alternative solusi Menghadapi perbedaan persepsi dan beberapa kendala yang dihadapi, ada
beberapa alternative solusi yang bisa kita lakukan, diantaranya:
- Menjadikan moment lahirnya BLUD sebagai titik tolak membangun paradigma baru bagi seluruh insan rumah sakit untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan sejak pelanggan masuk gerbang rumah sakit hingga kembali ke rumah dengan kesembuhan dan perasaan puas. Image jelek rumah sakit pemerintah yang selama ini melekat di benak masyarakat harus segera diubah. Sikap santun dan ramah serta professionalism pelayanan harus mulai ditunjukkan oleh satpam, tukang parkir, petugas pendaftaran, perawat, dokter, apoteker, kasir, dst. Hal ini yang akan memberikan kepuasan pelanggan sehingga dapat mempertahankan pasien lama dan menarik pasien baru melalui tenaga pemasaran gratis, yaitu pasien dan keluarga pasien. Namun membangun paradigma baru ternyata tidak mudah, perlu sosialisasi berkesinambungan. Cara yang lebih efektif adalah menumbuhkan rasa memiliki bisnis rumah sakit dan menunjukkan bahwa kedudukan tiap individu dalam rumah sakit adalah penting. Dengan melibatkan secara langsung dalam perumusan visi dan misi rumah sakit pada saat penyusunan Rencanan Strategi Bisnis, merupakan salah satu cara memberikan penghargaan atas peran dan keterlibatan insan rumah sakit. Selanjutnya keterlibatan dalam pengaturan kode etik dan perumusan Standar Operating dan Prosedur (SOP) juga merupakan media sosialisasi yang cukup efektif, terlebih rumusan remunerasi penghasilan yang akan diperjuangkan bersama dari kegigihan kerja dan dan kontribusi nyata setiap insan rumah sakit.
- Terhadap perbedaan persepsi dengan pemerintah daerah, dokumen Rencana Strategi Bisnis (RSB) lima tahunan merupakan media komunikasi yang cukup efektif manakala pihak rumah sakit mampu memaparkan hitungan-hitungan bisnis kepada pemerintah daerah, didukung dengan Rencanan Bisnis dan Anggaran (RBA) untuk tiap-tiap tahunnya. Rencana bisnis selama lima tahun dengan trend kenaikan prosentase tingkat kemandirian yang menggambarkan kenaikan pendapatan fungsional untuk menutupi biaya operasional layanan, diharap dapat memberikan persamaan persepsi antara penyelenggara pemerintahan dengan pengelola BLUD. Tidak menutup kemungkinan BLUD RSUD suatu saat kelak mampu memberikan pilihan kepada pegawainya, apakah akan berstatus sebagai pegawai BLUD atau tetap menjadi PNS. Dan semua masih tetap dalam kontrol pemerintah daerah melalui dewan pengawas dan kinerja BLUD dapat dipertanggungjawabkan karena selalau dilakukan audit oleh auditor independent. Bahkan evaluasi kinerja terhadap BLUD dapat memberikan korekis perbaikan dan juga memungkinkan pengembalian status SKPD (penurunan/pencabutan status BLUD).
- Menghadapi persaingan bisnis dengan rumah sakit sejenis dalam menarik pelanggan, dapat dilakukan dengan pelayanan prima secara professional dengan selalu memperhatikan kebutuhan pelanggan. Profesionalisme layanan dari para perawat dan dokter/dokter ahli (dan tenaga pendukung lainnya) serta peralatan medis yang modern hingga saat ini masih menjadi faktor utama dalam menarik pelanggan/pasien, dan RSUD harus segera merancang investasi kearah sana, misalnya dengan menghimpun dana, mencari donatur atau melakukan kerja sama operasi (KSO) dengan pihak swasta.
- Solusi terbaik terhadap permasalahan dokter/dokter ahli memerlukan koordinasi yang baik di antara pengambil kebijakan agar rumah sakit pemerintah tetap diuntungkan dan dokter/dokter spesialis tidak terlalu dirugikan (win-win solution) dengan memperhatikan perhitungan remunerasi yang adil. Jalan keluar lain juga dapat dilakukan, misalnya, rumah sakit membuka layanan paviliun di luar jam kerja rumah sakit untuk memfasilitasi praktek dokter/dokter ahli rumah sakit yang bersangkutan dengan perjanjian kerjasama yang disepakati kedua belah pihak.
Pilihan alternative solusi di atas hanyalah sebagian kecil dari
solusi-solusi lain yang masih dapat kita gali. Bagi kita yang terpenting
adalah, walaupun padadigma baru Badan Layanan Umum Daerah sebagai “Enterprising the Government”
dalam arti mewiraswastakan instansi pemerintah dengan pengelolaan
instansi pemerintah ala bisnis, namun kita tidak dapat melupakan bahwa
tujuan utama kita adalah “Public Service Oriented” yaitu tetap
berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hal inilah
yang harus tetap diingat oleh kita semua bahwa tujuan penerapan PPK-BLUD
adalah lebih kepada peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan
masyarakat oleh instansi pemerintah dengan memberikan fleksibilitas
dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktuvitas
serta penerapan prektek bisnis yang sehat.
Sumber Oleh: Sugeng Yoga Marsasi, Ak *)